Friday, April 1, 2016

Dampak Fenomena Intertekstualitas Transmedia

Kehadiran new media dirasakan manfaatnya terutama oleh anak-anak terutama pada permainan komputer dan budaya online, sekaligus menjadi orang yang paling berisiko terkena dampak perkembangan media baru.

Komputer mengenalkan bentuk-bentuk baru pembelajaran yang  melampaui keterbatasan metode linear sebelumnya seperti media cetak dan televisi. Komputer dapat membantu anak-anak menunjukan kreativitas alami dan keinginan belajar mereka yang sebelumnya tidak tampak karena terhalang oleh rasa frustrasi sebab penggunaan metode kuno yang bersifat satu arah.
Komputer membuat anak-anak berkomunikasi satu sama lain, dan mengekspresikan diri dalam berperan dikehidupan publik yang sebelumnya mustahil. Jon Kartz (1996) mengatakan internet sebagai sarana kebebasan anak-anak dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk melepaskan diri dari pengawasan orang dewasa juga menciptakan budaya dan komunitas mereka sendiri.

Pada masa ini, anak-anak merupakan salah satu target pasar yang paling signifikan untuk new media. Bahkan, jika kita melihat lebih seksama, rumah dengan anak-anak memiliki kemungkinan memiliki perangkat komputer lebih tinggi. Ini semua menyebabkan terjadinya fenomena yang bernama intertekstualitas transmedia. Intertekstual transmedia secara mudah dapat dipahami bahwa kita mengetahui tentang suatu hal karena hal tersebut pernah dijelaskan atau dikenalkan di tempat lain sebelumnya. Berdasarkan fenomena ini banyak games yang terkenal karena sudah pernah terkenal di ‘tempat’ lain sebelumnya atau agar game bisa terkenal maka karakter atau jalan cerita game tersebut dikenalkan di ‘tempat’ lain lebih dulu. ‘Tempat’ lain yang dimaksud kelompok kami di sini adalah media lain baik itu dalam bentuk film, kartun berseri, komik, ataupun pernak-pernik lainnya yang mudah diterima anak-anak karena anak-anak adalah sasaran utama pasar permainan. Selain itu, media seperti film, kartun, komik, dan pernak-pernik lain adalah media yang mudah diterima oleh anak-anak dalam pembangunan sosial budaya mereka.

Contohnya pada waktu tahun 2013 ketika film Frozen dirilis di Indonesia, kita dapat menemukan hal-hal bertemakan Frozen dengan mudah. Kita pergi ke toko tas, ada wajah Elza. Kita pergi ke toko alat tulis, ada tempat pensil Anna. Bahkan, ketika membuka Play Store, ada games yang thumbnail-nya berwajah Olaf, yang kesemuanya adalah karakter dalam film Frozen. Begitu juga pada tahun 2015 kemarin ketika game Clash of Clan (COC) sedang naik daun dikalangan gamers Indonesia. Banyak produsen kaos yang menggunakan lambang COC atau anekdot berbau COC. Kedua contoh ini menjelaskan apa yang disebut dengan intertekstual transmedia yang terjadi di Indonesia.

Lalu, apakah dampak fenomena intertekstualitas transmedia ini terhadap anak-anak?

Seperti yang kita ketahui bahwa anak-anak lebih baik praktis memahami cara berkomunikasi atau berkomunitas mereka pahami sendiri dari bermain game, maka dari itu anak-anak akan lebih mudah menerima segala sesuatu yang berhubungan dengan game atau karakter kesukaannya. Misalnya dengan menggunakan karakter COC kita bisa menggiatkan kampanye untuk menanam dan menjaga pohon. Hal seperti ini akan lebih mudah diterima anak-anak dan lebih mudah memahami maksud edukasi yang diberikan sebab ini berkaitan dengan karakter yang mereka kenal, sehingga tujuan di balik proses edukasi lebih gampang tercapai.

Namun, selain dampak positif ada juga dampak negatif di balik intertekstual transmedia. Anak-anak yang terlalu menyukai dan mencintai karakter dalam game / film / komik / anime kesukaannya akhirnya akan terkepung oleh sikap konsumtif sebab, pada kasus intertekstual transmedia barang-barang bergambar karakter tertentu akan lebih mudah ditemui seperti pada tas, sepatu, tempat pensil, buku tulis, buku gambar, poster, membuat anak-anak ingin memiliki hampir semua benda yang memiliki gambar karakter kesukaan mereka di dalamnya meskipun sebenarnya kebanyakan dari mereka tidak membutuhkan barang tersebut. Apalagi seperti yang kita ketahui bahwa anak-anak cenderung lebih mudah dipengaruhi.

Dampak negatif lain dari adanya fenomen intertekstualitas transmedia adalah, ketika anak-anak menyukai sesuatu biasanya mereka cenderung semakin menempel dengan benda tersebut. Misalnya, seorang anak-anak penyuka karakter Upin dan Ipin yang di Indonesia tayang pukul 2 siang akan lebih memilih menonton kartun kesukaannya dari pada pergi ke luar untuk bermain bersama teman sebayanya. Di waktu senggang, mereka juga akan lebih memilih memainkan games Upin dan Ipin yang ada digadget atau mewarnai buku gambar Upin dan Ipin dari pada menghabiskan waktu dengan keluarga atau bermain dengan teman mereka karena anak-anak itu tadi lebih mencintai Upin dan Ipin.

Bahkan berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, seorang anak tetangga yang menyukai kartun Spongebob Squarepants tidak setuju jika kucing berbunyi “meong~”. Ia mengatakan bahwa, yang bersuara “meong~” adalah siput, seperti karakter Gary dalam kartun Spongebob Squarepants.

Kemudian, apa yang harus kita lakukan ketika melihat kasus seperti di atas di sekitar kita sebagai orang yang lebih dewasa baik secara umur maupun psikisnya?

Misalnya seorang anak yang kita kenal terlihat meminta tas baru karena ada gambar karakter kesukaannya hal pertama yang kita lakukan ketika melihat hal tersebut adalah mengingatkan bahwa mereka tidak membutuhkan barang tersebut. Kedua kita harus memberi tahu bahwa apa yang dia lakukan barusan tidaklah baik karena termasuk sebagai sifat konsumtif.

Lalu, misalnya ada seorang anak yang kita kenal lebih senang memainkan games di gadget atau lebih suka menghabiskan waktu dengan terlalu banyak mewarnai buku gambar karakter kesukaannya atau terlalu sibuk sendiri menonton kartun kesukaannya, ingatkan bahwa selama hidup mereka tidak akan menghabiskan waktu dengan para karakter tersebut. Ingatkan bahwa ada keluarga atau teman secara nyata yang mereka miliki.

Atau mungkin jika pada kasus lain seperti anak tetangga saya di atas yang salah memahami suara “meong~” sebagai suara siput, beri tahu mereka bahwa apa yang mereka katakana adalah salah. Beri tahu bahwa walaupun dia menyukai suatu karakter, apa yang mereka katakana belum tentu semuanya benar dan dapat dipercaya.

Terakhir beritahu mereka bahwa menyukai Sesutu secara berlebihan tidaklah baik, karena biasanya kita akan tidak memerhatikan sekitar karena terlalu sibuk dengan apa yang sangat kita sukai.
Pustaka :

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ICTs. Sage Publication Ltd.

No comments:

Post a Comment