Kehadiran new media dirasakan manfaatnya terutama
oleh anak-anak terutama pada permainan komputer dan budaya online, sekaligus menjadi orang yang paling berisiko terkena dampak
perkembangan media baru.
Komputer mengenalkan
bentuk-bentuk baru pembelajaran yang
melampaui keterbatasan metode linear sebelumnya seperti media cetak dan
televisi. Komputer dapat membantu anak-anak menunjukan kreativitas alami dan
keinginan belajar mereka yang sebelumnya tidak tampak karena terhalang oleh
rasa frustrasi sebab penggunaan metode kuno yang bersifat satu arah.
Komputer membuat
anak-anak berkomunikasi satu sama lain, dan mengekspresikan diri dalam berperan
dikehidupan publik yang sebelumnya mustahil. Jon Kartz (1996) mengatakan
internet sebagai sarana kebebasan anak-anak dan memberikan kesempatan bagi
mereka untuk melepaskan diri dari pengawasan orang dewasa juga menciptakan
budaya dan komunitas mereka sendiri.
Pada masa ini,
anak-anak merupakan salah satu target pasar yang paling signifikan untuk new media. Bahkan, jika kita melihat
lebih seksama, rumah dengan anak-anak memiliki kemungkinan memiliki perangkat
komputer lebih tinggi. Ini semua menyebabkan terjadinya fenomena yang bernama
intertekstualitas transmedia. Intertekstual transmedia secara mudah dapat
dipahami bahwa kita mengetahui tentang suatu hal karena hal tersebut pernah
dijelaskan atau dikenalkan di tempat lain sebelumnya. Berdasarkan fenomena ini
banyak games yang terkenal karena sudah pernah terkenal di ‘tempat’ lain
sebelumnya atau agar game bisa terkenal maka karakter atau jalan cerita game
tersebut dikenalkan di ‘tempat’ lain lebih dulu. ‘Tempat’ lain yang dimaksud
kelompok kami di sini adalah media lain baik itu dalam bentuk film, kartun
berseri, komik, ataupun pernak-pernik lainnya yang mudah diterima anak-anak
karena anak-anak adalah sasaran utama pasar permainan. Selain itu, media
seperti film, kartun, komik, dan pernak-pernik lain adalah media yang mudah
diterima oleh anak-anak dalam pembangunan sosial budaya mereka.
Contohnya pada waktu
tahun 2013 ketika film Frozen dirilis di Indonesia, kita dapat menemukan
hal-hal bertemakan Frozen dengan mudah. Kita pergi ke toko tas, ada wajah Elza.
Kita pergi ke toko alat tulis, ada tempat pensil Anna. Bahkan, ketika membuka
Play Store, ada games yang thumbnail-nya
berwajah Olaf, yang kesemuanya adalah karakter dalam film Frozen. Begitu juga
pada tahun 2015 kemarin ketika game Clash of Clan (COC) sedang naik daun
dikalangan gamers Indonesia. Banyak
produsen kaos yang menggunakan lambang COC atau anekdot berbau COC. Kedua
contoh ini menjelaskan apa yang disebut dengan intertekstual transmedia yang
terjadi di Indonesia.
Lalu, apakah dampak fenomena
intertekstualitas transmedia ini terhadap anak-anak?
Seperti yang kita ketahui
bahwa anak-anak lebih baik praktis memahami cara berkomunikasi atau
berkomunitas mereka pahami sendiri dari bermain game, maka dari itu anak-anak
akan lebih mudah menerima segala sesuatu yang berhubungan dengan game atau
karakter kesukaannya. Misalnya dengan menggunakan karakter COC kita bisa
menggiatkan kampanye untuk menanam dan menjaga pohon. Hal seperti ini akan
lebih mudah diterima anak-anak dan lebih mudah memahami maksud edukasi yang
diberikan sebab ini berkaitan dengan karakter yang mereka kenal, sehingga
tujuan di balik proses edukasi lebih gampang tercapai.
Namun, selain dampak
positif ada juga dampak negatif di balik intertekstual transmedia. Anak-anak
yang terlalu menyukai dan mencintai karakter dalam game / film / komik / anime
kesukaannya akhirnya akan terkepung oleh sikap konsumtif sebab, pada kasus
intertekstual transmedia barang-barang bergambar karakter tertentu akan lebih
mudah ditemui seperti pada tas, sepatu, tempat pensil, buku tulis, buku gambar,
poster, membuat anak-anak ingin memiliki hampir semua benda yang memiliki
gambar karakter kesukaan mereka di dalamnya meskipun sebenarnya kebanyakan dari
mereka tidak membutuhkan barang tersebut. Apalagi seperti yang kita ketahui
bahwa anak-anak cenderung lebih mudah dipengaruhi.
Dampak negatif lain
dari adanya fenomen intertekstualitas transmedia adalah, ketika anak-anak
menyukai sesuatu biasanya mereka cenderung semakin menempel dengan benda
tersebut. Misalnya, seorang anak-anak penyuka karakter Upin dan Ipin yang di
Indonesia tayang pukul 2 siang akan lebih memilih menonton kartun kesukaannya
dari pada pergi ke luar untuk bermain bersama teman sebayanya. Di waktu
senggang, mereka juga akan lebih memilih memainkan games Upin dan Ipin yang ada
digadget atau mewarnai buku gambar
Upin dan Ipin dari pada menghabiskan waktu dengan keluarga atau bermain dengan
teman mereka karena anak-anak itu tadi lebih mencintai Upin dan Ipin.
Bahkan berdasarkan
pengalaman pribadi saya sendiri, seorang anak tetangga yang menyukai kartun
Spongebob Squarepants tidak setuju jika kucing berbunyi “meong~”. Ia mengatakan
bahwa, yang bersuara “meong~” adalah siput, seperti karakter Gary dalam kartun
Spongebob Squarepants.
Kemudian, apa yang
harus kita lakukan ketika melihat kasus seperti di atas di sekitar kita sebagai
orang yang lebih dewasa baik secara umur maupun psikisnya?
Misalnya seorang anak
yang kita kenal terlihat meminta tas baru karena ada gambar karakter
kesukaannya hal pertama yang kita lakukan ketika melihat hal tersebut adalah
mengingatkan bahwa mereka tidak membutuhkan barang tersebut. Kedua kita harus
memberi tahu bahwa apa yang dia lakukan barusan tidaklah baik karena termasuk
sebagai sifat konsumtif.
Lalu, misalnya ada
seorang anak yang kita kenal lebih senang memainkan games di gadget atau lebih suka menghabiskan
waktu dengan terlalu banyak mewarnai buku gambar karakter kesukaannya atau
terlalu sibuk sendiri menonton kartun kesukaannya, ingatkan bahwa selama hidup
mereka tidak akan menghabiskan waktu dengan para karakter tersebut. Ingatkan
bahwa ada keluarga atau teman secara nyata yang mereka miliki.
Atau mungkin jika pada
kasus lain seperti anak tetangga saya di atas yang salah memahami suara
“meong~” sebagai suara siput, beri tahu mereka bahwa apa yang mereka katakana
adalah salah. Beri tahu bahwa walaupun dia menyukai suatu karakter, apa yang
mereka katakana belum tentu semuanya benar dan dapat dipercaya.
Terakhir beritahu
mereka bahwa menyukai Sesutu secara berlebihan tidaklah baik, karena biasanya
kita akan tidak memerhatikan sekitar karena terlalu sibuk dengan apa yang
sangat kita sukai.
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ICTs. Sage Publication Ltd.
No comments:
Post a Comment